Dalam legamnya malam yang disanding terangnya rembulan. Aku eja namamu penuh damba, harapnya segala afeksi sampai pada bilik hatimu yang menganga mesra.
Pada kotak khayal yang dijaga peri hati, aku percaya akan ada masa dimana kita bersua dan saling sapa mesra dalam alunan tawa canda atas nama cinta.
Ditengah padatnya cara kerja dunia, mengagumimu sudah jadi perihal wajib yang tak suka aku tunda. Tanpa perlu mengimpresiku dengan seribu satu cara, mataku selalu tertuju pada pesona yang kau agihkan tanpa kata.
Presensimu adalah wujud karunia Tuhan yang tak dapat aku sangkal keberadaannya.
Kau indah tanpa perlu mencoba.
Tak ada yang istimewa dari pertemuan kita kala itu. Tak pernah pula kita bersua manja yang libatkan kali kedua. Kita hanya berjumpa lewat kata, itupun tak seberapa harganya. Bahkan aku tak pula tau akan rupa maupun suaramu. Aku hanya menggenggam sepenggal nama, yang kau agihkan lewat kata sekilas lalu.
Dibawah temaramnya rembulan, namamu yang sampai sekarang dengan lancangnya masih megah bertahta, terukir jelas di tiap sudut hatiku. Entah apa yang kau tebar hingga aku terbuai pesonamu yang membuat kinerja otakku melambat. Aku kau buat tak rasional, disusul tingkahku yang kadang abnormal.
Mari bertukar kata dari hati ke hati,
Mari menyelaraskan dua kepala,
Mari memadu kasih yang sentuh nirwana,
Mari melebur bersama sampai mati.
Aku kerap mengukirmu pada bait-bait puisi setengah jadi, pada hamparan kertas berisi namamu ditiap sudut ruang pribadi. Semua aku tuangkan dengan sepenuh hati, semata karena itulah caraku mengagumi.
Kala itu, aku tak begitu mengerti makna yang aku tuang sedemikian rupa. Tak pula ada maksud tertentu apalagi harap timbal balik darimu. Aku menulis secara sukarela. Semua berdasar rasa yang tak pernah mampu aku utarakan dengan gamblang.
Aku pengecut yang mendamba cintamu.
Aku ingin mengeja namamu tanpa harus takut mencinta. Aku ingin mengagumi tanpa takut dicela. Aku yang mendamba angan fana.